(Terbit pertama kali tahun 2018 di Plukme)
Sudah pada tahu belum istilah Sastra Cyber?
Menurut Depdiknas, Sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, lebih memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
Baca juga: Apa 4 Penyebab Ini yang Membuatmu belum juga Menulis?
Baca juga: Apa 4 Penyebab Ini yang Membuatmu belum juga Menulis?
Sedangkan cyber yang dalam bahasa inggris tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus bertautan dengan kata lain seperti cybernet, cyberspace.
Cyberspace sendiri artinya ruang (berkomputer) yang saling terjalin membentuk budaya di kalangan mereka. Sedangkan cybernet artinya pengendalian proses menggunakan komputer.
Singkatnya, sastra cyber adalah karya atau tulisan sastra yang menggunakan media internet sebagai medium penyalurannya. Sama dengan istilah sastra koran yang mediumnya adalah media koran. Begitu pun dengan sastra majalah, sastra buku dan lainnya. Nah, blog adalah salah satu medium bagi sastra cyber.
Di zaman internet yang setiap waktu berkembang dengan begitu pesat ini, bersamaan dengan itu sastra cyber juga semakin banyak bermunculan dan terpampang nyata di ruang publik maya.
Dengan segala kebebasan yang ada, sastra cyber menjamur begitu cepat dan mendominasi pasar sastra.
Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Sebab yang paling mendasar adanya sastra cyber ialah internet yang semakin membuka ruang luas dan memberikan banyak kesempatan untuk itu.
Sebab yang lainnya adalah kesempatan emas yang datang tak boleh disia-siakan begitu saja. Harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Apalagi medium sastra yang terbatas membuat para penulis sastra yang masih belum memiliki wadah akhirnya memilih berbondong-bondong melirik sastra cyber.
Baca juga: Waspada! Ada 2 Serangan yang sering Menyerang Tulisan Kita
Baca juga: Waspada! Ada 2 Serangan yang sering Menyerang Tulisan Kita
Sastra cyber mulai semakin dikenal di tahun 2000-an. Waktu itu adalah masa di mana internet mulai berkembang pesat di Indonesia. Hal itu terbukti dengan adanya peluncuran buku antologi puisi cyber yang berjudul Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001 di Puri Jaya, Hotek sahid.
Kemunculan buku tersebut menuai pro dan kontrak di kalangan pegiat sastra. Ada yang mengkritik dan ada juga yang memuji baik tentang wujud bukunya maupun isi.
Namun, hal-hal negatif yang ada tak lantas membuat para pegiat sastra cyber putus asa dan minder. Malahan semakin garang dan melebarkan kiprahnya di blantika sastra Indonesia.
Dalam kebebasan berekspresi dan bereksperimen maka yang terjadi adalah fenomena-fenomena baru yang di satu sisi ada baiknya, namun di sisi lain memiliki tingkat negatif yang cukup merisaukan.
Seperti fenomena kemunculan-kemunculan para sastrawan serpeti Ayu Utami dengan karya sastranya yang sangat vulgar tanpa sensor, begitupun supernova karya Dee Lestari yang mengangkat tema gay yang di balut dengan gaya sederhana dan ringan.
Sejak saat itu, sastra cyber mulai berkembang pesat.
Tidak ketinggalan website atau aplikasi membaca dan menulis yang semakin ke sini semakin digandrungi masyarakat. Tentu saja sangat membuka peluang lebih besar bagi cerita yang tak beda jauh dengan karya Dee atau Ayu Utami di atas.
Ruang internet seakan menjadi ruang kebebasan untuk mereka berkarya. Tidak ada lagi sensor atau seleksi ketat para redaktur yang sering membuangi karya-karya mereka begitu saja. Semua bisa menjadi penulis dan semua bisa menampilkan karyanya di publik. Seburuk dan sereceh apapun bisa memiliki kesempatan dan ruang tersendiri di hati para penikmat sastra cyber yang tidak kalah banjirnya.
Di satu sisi hal ini adalah kabar gembira bagi kita yang suka menulis sastra namun menurut kualitas belum bisa dikatakan baik.
Atau kabar baik bagi kita yang sudah keseringan sakit hati karena karya tak jua diterbitkan di koran, majalah atau buku.
Namun, di sisi lain, ada anggapan yang mengatakan bahwa sastra cyber itu tidak lain hanyalah sampah. Para penulis sastra cyber dianggap sebagai penulis yang masih prematur, belum memiliki kematangan isi dan kemampuan menulis yang dipunya para penulis sastra koran, majalah dan buku yang pastinya karya mereka yang berhasil terpampang adalah karya yang terbaik dari yang terbaik karena telah melewati seleksi panjang dari para redaktur.
Sedangkan sastra cyber adalah sastra yang kurang bermutu karena proses lahirnya tidak melalui seleksi dan penilaian ketat.
Melainkan langsung tersaji tanpa ada sensor ataupun pengurangan.
Sama seperti kita yang di sini. Yang suka menganggap karya tulis kita adalah sastra, maka sastra tersebut bernama sastra cyber. Yang para kritikusnya bisa siapa saja.
Bukan hanya redaktur atau sastrawan.
Bukan hanya redaktur atau sastrawan.
Namun, dari semua kalangan.
Kata mereka karya kita adalah sebentuk sampah yang tak bermakna. Apalagi bagi karya yang dinilai memiliki pengaruh negatif bagi para pembacanya karena tidak ada proses penyaringan sehingga sulit untuk terdeteksi mana tulisan yang layak atau tidak.
Apakah kalian setuju tulisan sastra kita di anggap sampah bagi mereka yang ahli menilai?
Saya sendiri tidak setuju. Karena menurut saya tidak sepenuhnya begitu.
Harapannya sih bagi kita semua, janganlah hanya bisa menilai namun tidak ada solusi yang diberikan.
Seharusnya perkembangan sastra cyber yang tidak sepenuhnya memiliki pengaruh negatif ini, lebih dibina atau diarahkan bagaimana seharusnya bersikap dalam berkarya. Bukan hanya bisa menuding sampah dan negatif lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Miris.
Referensi : Makalah Fenomena Sastra cyber : Sebuah kemajuan atau kemunduran, Hilda Septriadi dan Buku Sejarah Perkembangan Sastra di Indonesia, Rismawati, M.Pd