Keajaiban itu datang bersama kelebat angin yang berhembus
Keajaiban itu datang seperti cahaya fajar dan senja yang memancar
Keajaiban itu menyelip di antara bintang-bintang yang berkelip.
____
Aku baru saja tiba sore hari dan disambut tangis berderai darinya, wanita kesayanganku. Dia memegangi kedua tangan ini sambil menatapku nanar. Menggoncang-goncangkan tubuhku sambil tersedu.
“Keajaiban itu ada kan, Dek? Arif pasti sembuh kan? Ya, kan?”
Ah, pertanyaan itu. Ternyata dia benar-benar mendengarkan nasihatku kemarin.
Keajaiban itu selalu ada, Kak. Dia datang melalui apapun. Arif kuat. Dia pasti sedang berjuang untuk tetap hidup.
Sore kemaren aku menguatkannya dengan kata-kata itu dan hari ini dia menagihnya. Seakan akulah yang pantas memberikan keajaiban itu. Bahkan aku tak mampu untuk sekadar menjawab. Mungkin hanya pelukan yang bisa kuberikan untuk menghangatkan hati dan pikirannya yang sedang tak karuan saat itu.
Anaknya belum juga sadar dari koma. Saat hari masih gelap sebelum subuh, tepat 3 hari yang lalu ia dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya semakin parah. Sudah hampir seminggu perutnya kembung, muntah dan kotorannya masih saja cair.
Padahal baru saja kemarin sebelum sakit ia berhasil belajar melangkah dua kali tepat di umurnya yang telah menginjak tahun pertama lebih dua bulan. Masih sangat kuingat senyum dan tawa cerianya sampai hari ini. Ah, masa itu.
“Sudah dicoba di tangan, kaki, sampai paha tidak ditemukan pembuluh darahnya yang bisa dipasang infus.” ceritanya sambil terisak. Aku mencoba lebih kuat darinya.
Jarum-jarum infus itu telah memenuhi kepalanya saat ini. Katanya karena tubuhnya yang besar, jadi cukup sulit mencari pembuluh darahnya.
______
Selain Arif, kakak memiliki 1 anak lelaki berusia 7 tahun dan perempuan berusia 4 tahun. Jadi karena cukup repot untuk pulang ke rumah, kami pun memutuskan untuk berbagi tugas. Suami kakak tetap fokus kerja, Kakak stay di rumah sakit bersama kedua anaknya itu, sedang aku dan sepupu yang tinggal bersama mengkondisikan rumah, makanan dan peralatan lainnya yang dibutuhkan.
Karena masih ada kewajiban kuliah, maka saat sore hari kami berdua baru bisa datang ke rumah sakit dan pulang pagi hari untuk beres-beres rumah, memasak, menyuci dan lainnya. Begitulah seterusnya.
Hari berganti, waktu berlalu.
Hari ini tepat seminggu Arif berada di rumah sakit. Terakhir menjenguknya tadi malam, ia belum juga sadar. Malah tubuhnya tampak semakin membeku, karena berada di dalam ruang kaca yang kurasa begitu dingin sekali.
Bunyi mesin EKG masih menunjukan ada detak kehidupan di sana. Kekhawatiran kami masih terbendung. Walau wajahnya sudah hampir tak seperti sosok Arif yang biasanya.
Kepalanya sudah dipenuhi selang-selang infus yang entahlah kenapa begitu mengerikan terlihat. Badannya seperti semakin membesar dan kulitnya kaku, dingin sekali. Apalagi pihak rumah sakit sengaja tidak memakaikan pakaian ke tubuhnya. Aku tak begitu mengerti apa tujuannya. Hanya pampers celana. Sedang ruangan sudah hampir mirip seperti dinginnya kulkas. Saat itu kami sangat percaya dengan mereka. Maka tak banyak protes yang kami layangkan. Tapi tetap saja aku tak yakin jika Arif tidak merasakan sakit di sana.
Oh, malangnya nasibmu, Nak. Maafkan kami. Maafkan kelalaian kami menjagamu. Mungkin ada salah yang tidak kami sadari saat merawatmu.
“Kamu kuat sayang.” bisikku padanya sambil tak kuasa memendung tangis ini.
Pagi ini aku kembali ke rumah. Ada banyak pakaian yang harus dicuci. Memberesi rumah yang sepertinya baru saja kemarin terasa sangat ramai namun hari ini tak ada siapa-siapa. Kecuali aku.
Mengelilingi dan memandangi tiap sudut ruang yang biasa sangat ramai. Sambil menyeka beberapa kali air mata yang ikut menemani. Fajar baru beberapa jam menyingsing, angin mulai sepoi kurasa.
Sore ini entah mengapa aku memakai pakaian hitam dan jilban biru. Setengah perjalanan aku baru menyadari sesuatu ketidaktenangan dalam hati. Ah, kutepis langsung dan tak mau memikirkannya lebih jauh lagi.
Saat itu aku membawa masakan ala kadarnya dan beberapa perlengkapan pakaian dan barang untuk mereka. Keluarga dari kampung juga sudah tiba di sana. Kami sempat makan bersama. Ada satu ruangan khusus untuk semua keluarga pasien yang bermalam.
Kakak sepertinya lebih terhibur karena keberadaan bapak dan ibu hari itu di sampingnya. Dua minggu yang menyedihkan. Sungguh kulihat betapa lesuh wajahnya. Pasti sangat terpukul sekali. Apalagi ia pun sempat menyesali karena tak cepat tanggap dengan kondisi anaknya yang sedang sakit.
Merawat Arif selama hampir seminggu di rumah saja dengan keadaannya yang terus bertambah parah adalah kesalahan cukup fatal menurutnya. Ia merasa terlalu meremehkan sakit yang diderita anak terakhirnya itu. Hingga kemudian diagnosa menyatakan bahwa penyakit anaknya sudah sangat serius dan mengalami komplikasi hingga ke jantung dan paru-paru.
Malam itu gerimis datang dengan pelan. Rintik-rintik menyeruakkan kesepian yang mendalam. Aku masih berdiri memandangi sekitar gedung-gedung putih mengerikan ini sambil menikmati gerimis dan mendengarkan beberapa playlist yang kuputar.
Ternyata aku tidak sendiri. Seorang laki-laki yang kukenal di sana berdiri membelakangiku. Sama seperti aku, ia juga sedang menikmati gerimis malam ini.
Hari ini dia juga memakai baju berwarna hitam. Dia adalah anak dari salah satu pasien yang satu ruangan dengan anak kakakku, ayahnya. Tak ada sapa apalagi obrolan, mungkin kami merasa sama-sama sedang sibuk dan kalut dengan pikiran masing-masing. Hingga malam hening pun berlalu begitu saja.
Pukul 03.30 pagi, aku terbangun karena terkejut mendengar suara-suara gaduh dari ruangan ICU. Kudapati tak ada siapapun lagi di sampingku. Detak jantungku berpacu. Tanpa berpikir panjang, aku menyusul mereka yang ternyata sudah bersimbah air mata di dalam sana. Suara-suara semakin jelas terdengar. Teriakkan seorang istri karena belum rela melepas suaminya. Isakan tangis luar biasa dari beberapa pasien lainnya, termasuk kakakku dan Ibu dari lelaki berbaju hitam kemarin.
Kakak tak henti-hentinya menangis di dalam pelukan Ibu. Sedang aku masih mematung belum juga percaya dengan apa yang terjadi saat ini.
Tuhan, apakah sudah berakhir? Secepat ini kah?
Suara batinku menggema terus menerus. Namun tiada yang mampu menjawab. Tiada yang peduli.
Keajaiban. Tidak ada keajaiban sepagi ini.
____
Pagi ini,
Sepoi angin tiada terasa berhembus
Apalagi cahaya fajar dan senja yang memancar
Keajaiban itu tidak ada menyelip di antara bintang-bintang yang berkelip. Karena langit pagi ini masih mendung, sebab sisa awan gerimis semalam.
Kehilangan. Titik akhir waktu bersamanya. Kami harus merelakan.
2014
----
https://penakata.com/tiada-keajaiban-sepagi-ini/
Catatan : cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata. Terjadi pada tahun 2009.
Berarti yang meninggal itu Arif kecil dan Ayah si lelaki itu ya kak? Mereka satu kamar kan?
BalasHapusPengambilan suasana yg bagus, dan memberi sedikit misteri diakhiri membuat bertanya-tanya.
BalasHapusHuhuhu. Aku nangis banget, tahu bgt rasanya anak sakit itu hancur luluh lantak. Apalagi mengalami kehilangan. Aduh sedihnya berasa hati diremas-remas pilu.
BalasHapus