Langsung ke konten utama

CERPEN - TIDAK ADA KEAJAIBAN SEPAGI INI


                     pic by pexels/lisafotios

Keajaiban itu datang bersama kelebat angin yang berhembus

Keajaiban itu datang seperti cahaya fajar dan senja yang memancar

Keajaiban itu menyelip di antara bintang-bintang yang berkelip.


____

Aku baru saja tiba sore hari dan disambut tangis berderai darinya, wanita kesayanganku. Dia memegangi kedua tangan ini sambil menatapku nanar. Menggoncang-goncangkan tubuhku sambil tersedu.


“Keajaiban itu ada kan, Dek? Arif pasti sembuh kan? Ya, kan?”


Ah, pertanyaan itu. Ternyata dia benar-benar mendengarkan nasihatku kemarin.


Keajaiban itu selalu ada, Kak. Dia datang melalui apapun. Arif kuat. Dia pasti sedang berjuang untuk tetap hidup.


Sore kemaren aku menguatkannya dengan kata-kata itu dan hari ini dia menagihnya. Seakan akulah yang pantas memberikan keajaiban itu. Bahkan aku tak mampu untuk sekadar menjawab. Mungkin hanya pelukan  yang bisa kuberikan untuk menghangatkan hati dan pikirannya yang sedang tak karuan saat itu.


Anaknya belum juga sadar dari koma. Saat hari masih gelap sebelum subuh, tepat 3 hari yang lalu ia dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya semakin parah. Sudah hampir seminggu perutnya kembung, muntah dan kotorannya masih saja cair.


Padahal baru saja kemarin sebelum sakit ia berhasil belajar melangkah dua kali tepat di umurnya yang telah menginjak tahun pertama lebih dua bulan. Masih sangat kuingat senyum dan tawa cerianya sampai hari ini. Ah, masa itu.


“Sudah dicoba di tangan, kaki, sampai paha tidak ditemukan pembuluh darahnya yang bisa dipasang infus.” ceritanya sambil terisak. Aku mencoba lebih kuat darinya.


Jarum-jarum infus itu telah memenuhi kepalanya saat ini. Katanya karena tubuhnya yang besar, jadi cukup sulit mencari pembuluh darahnya.


______

Selain Arif, kakak memiliki 1 anak lelaki berusia 7 tahun dan perempuan berusia 4 tahun. Jadi karena cukup repot untuk pulang ke rumah, kami pun memutuskan untuk berbagi tugas. Suami kakak tetap fokus kerja, Kakak stay di rumah sakit bersama kedua anaknya itu, sedang aku dan sepupu yang tinggal bersama mengkondisikan rumah, makanan dan peralatan lainnya yang dibutuhkan.


Karena masih ada kewajiban kuliah, maka saat sore hari kami berdua baru bisa datang ke rumah sakit dan pulang pagi hari untuk beres-beres rumah, memasak, menyuci dan lainnya. Begitulah seterusnya.


Hari berganti, waktu berlalu.


Hari ini tepat seminggu Arif berada di rumah sakit. Terakhir menjenguknya tadi malam, ia belum juga sadar. Malah tubuhnya tampak semakin membeku, karena berada di dalam ruang kaca yang kurasa begitu dingin sekali.


Bunyi mesin EKG masih menunjukan ada detak kehidupan di sana. Kekhawatiran kami masih terbendung. Walau wajahnya sudah hampir tak seperti sosok Arif yang biasanya.


Kepalanya sudah dipenuhi selang-selang infus yang entahlah kenapa begitu mengerikan terlihat. Badannya seperti semakin membesar dan kulitnya kaku, dingin sekali. Apalagi pihak rumah sakit sengaja tidak memakaikan pakaian ke tubuhnya. Aku tak begitu mengerti apa tujuannya. Hanya pampers celana. Sedang ruangan sudah hampir mirip seperti dinginnya kulkas. Saat itu kami sangat percaya dengan mereka. Maka tak banyak protes yang kami layangkan. Tapi tetap saja aku tak yakin jika Arif tidak merasakan sakit di sana.


Oh, malangnya nasibmu, Nak. Maafkan kami. Maafkan kelalaian kami menjagamu. Mungkin ada salah yang tidak kami sadari saat merawatmu.


“Kamu kuat sayang.” bisikku padanya sambil tak kuasa memendung tangis ini.


Pagi ini aku kembali ke rumah. Ada banyak pakaian yang harus dicuci. Memberesi rumah yang sepertinya baru saja kemarin terasa sangat ramai namun hari ini tak ada siapa-siapa. Kecuali aku.


Mengelilingi dan memandangi tiap sudut ruang yang biasa sangat ramai. Sambil menyeka beberapa kali air mata yang ikut menemani. Fajar baru beberapa jam menyingsing, angin mulai sepoi kurasa.


Sore ini entah mengapa aku memakai pakaian hitam dan jilban biru. Setengah perjalanan aku baru menyadari sesuatu ketidaktenangan dalam hati. Ah, kutepis langsung dan tak mau memikirkannya lebih jauh lagi.


Saat itu aku membawa masakan ala kadarnya dan beberapa perlengkapan pakaian dan barang untuk mereka. Keluarga dari kampung juga sudah tiba di sana. Kami sempat makan bersama. Ada satu ruangan khusus untuk semua keluarga pasien yang bermalam.


Kakak sepertinya lebih terhibur karena keberadaan bapak dan ibu hari itu di sampingnya. Dua minggu yang menyedihkan. Sungguh kulihat betapa lesuh wajahnya. Pasti sangat terpukul sekali. Apalagi ia pun sempat menyesali karena tak cepat tanggap dengan kondisi anaknya yang sedang sakit.


Merawat Arif selama hampir seminggu di rumah saja dengan keadaannya yang terus bertambah parah adalah kesalahan cukup fatal menurutnya. Ia merasa terlalu meremehkan sakit yang diderita anak terakhirnya itu. Hingga kemudian diagnosa menyatakan bahwa penyakit anaknya sudah sangat serius dan mengalami komplikasi hingga ke jantung dan paru-paru.


Malam itu gerimis datang dengan pelan. Rintik-rintik menyeruakkan kesepian yang mendalam. Aku masih berdiri memandangi sekitar gedung-gedung putih mengerikan ini sambil menikmati gerimis dan mendengarkan beberapa playlist yang kuputar.


Ternyata aku tidak sendiri. Seorang laki-laki yang kukenal di sana berdiri membelakangiku. Sama seperti aku, ia juga sedang menikmati gerimis malam ini.


Hari ini dia juga memakai baju berwarna hitam. Dia adalah anak dari salah satu pasien yang satu ruangan dengan anak kakakku, ayahnya. Tak ada sapa apalagi obrolan, mungkin kami merasa sama-sama sedang sibuk dan kalut dengan pikiran masing-masing. Hingga malam hening pun berlalu begitu saja.


Pukul 03.30 pagi, aku terbangun karena terkejut mendengar suara-suara gaduh dari ruangan ICU. Kudapati tak ada siapapun lagi di sampingku. Detak jantungku berpacu. Tanpa berpikir panjang, aku menyusul mereka yang ternyata sudah bersimbah air mata di dalam sana. Suara-suara semakin jelas terdengar. Teriakkan seorang istri karena belum rela melepas suaminya. Isakan tangis luar biasa dari beberapa pasien lainnya, termasuk kakakku dan Ibu dari lelaki berbaju hitam kemarin.


Kakak tak henti-hentinya menangis di dalam pelukan Ibu. Sedang aku masih mematung belum juga percaya dengan apa yang terjadi saat ini.


Tuhan, apakah sudah berakhir? Secepat ini kah?


Suara batinku menggema terus menerus. Namun tiada yang mampu menjawab. Tiada yang peduli.


Keajaiban. Tidak ada keajaiban sepagi ini.


____

Pagi ini,

Sepoi angin tiada terasa berhembus

Apalagi cahaya fajar dan senja yang memancar

Keajaiban itu tidak ada menyelip di antara bintang-bintang yang berkelip. Karena langit pagi ini masih mendung, sebab sisa awan gerimis semalam.


Kehilangan. Titik akhir waktu bersamanya. Kami harus merelakan.


2014


 ----

https://penakata.com/tiada-keajaiban-sepagi-ini/

Catatan : cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata. Terjadi pada tahun 2009.


Komentar

  1. Berarti yang meninggal itu Arif kecil dan Ayah si lelaki itu ya kak? Mereka satu kamar kan?

    BalasHapus
  2. Pengambilan suasana yg bagus, dan memberi sedikit misteri diakhiri membuat bertanya-tanya.

    BalasHapus
  3. Huhuhu. Aku nangis banget, tahu bgt rasanya anak sakit itu hancur luluh lantak. Apalagi mengalami kehilangan. Aduh sedihnya berasa hati diremas-remas pilu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah Sastra Cyber yang Katanya Sampah!

(Terbit pertama kali tahun 2018 di Plukme) S udah pada tahu belum istilah Sastra Cyber? Menurut Depdiknas,  Sastra  adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, lebih memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Baca juga:  Apa 4 Penyebab Ini yang Membuatmu belum juga Menulis? Sedangkan  cyber  yang dalam bahasa inggris tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus bertautan dengan kata lain seperti  cybernet, cyberspace.  Cyberspace  sendiri artinya ruang (berkomputer)  yang saling terjalin membentuk budaya di kalangan mereka. Sedangkan cybernet artinya pengendalian proses menggunakan komputer. Singkatnya, sastra cyber adalah karya atau tulisan sastra yang menggunakan media internet sebagai medium penyalurannya. Sama dengan istilah sastra koran yang mediumnya adalah media koran. Begitu pun dengan sastra majalah, sastra buku dan lainnya. Nah, blog adalah salah satu medium bagi sastra cyber.

Kendala Saat Akan Memulai Menulis dan Cara Mengatasinya

Sebenarnya tidak cuma menulis saja, tapi semua pekerjaan di dunia ini pasti memiliki kendala masing-masing.  Ada yang bisa mengatasi, namun ada juga yang kesulitan.  pic by pexels Begitupun dengan para penulis, ada banyak kendala yang sering dihadapi dan butuh perjuangan untuk mengatasi hal itu.  Lalu, apa saja sih sebenarnya kendala yang sering dihadapi penulis, termasuk diriku?  Dan bagaimana cara mengatasinya? 1. Bingung Mau Menulis Apa Ini adalah kendala yang sering dialami para penulis yang tiba-tiba bingung mau menulis tentang apa karena kehabisan ide.  pic by pexels Iya, aku sering mengalami hal itu juga. Biasanya itu terjadi kalau keseringan menulis, tapi minim membaca dan mencari informasi. Atau saat sudah lama tidak disibukan dengan kegiatan tulis-menulis, lalu pengin menulis lagi.  Sudah, deh. Blank langsung.  Lalu, apa yang aku lakukan untuk mengatasi kendala itu?  Ya, pertama kali, aku akan membuka media sosial. Meski pada akhirnya jadi tergoda unt