
pic by pexels
"Terus aku gimana? Kalau kamu nikah, kita gak bisa ketemu lagi, dong?"
Lana mengeluh kepada Galang ketika tahu kalau sebentar lagi, sahabatnya itu akan menikah.
Pantesan belakangan ini, Galang sering menghilang tiba-tiba. Tidak seperti biasa yang setiap saat ada untuk Lana, kapanpun wanita itu minta.
Ternyata ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ya, apalagi ... kalau bukan rencana pernikahannya.
"Bisa. Tapi, ya, gak seintens dulu. Aku kan udah ada istri nanti," jawab Galang, antara sedih dan senang.
"Jangan nikah dulu, dong," pinta Lana tanpa memikirkan perasaan Galang.
"Astagfirullah. Aneh lu!" Galang membeliak.
"Nasibku gimana entar?"
"Ya, pinter-pinter kamulah. Udah gede juga. Masa mau aku temeni mulu?"
Sudah berpuluh tahun berlalu sejak Galang hadir ke dalam hidup Lana, membawa gadis itu keluar dari rasa sepi dan takut akan dunia.
Gadis pendiam berumur 13 tahun yang trauma karena keluarganya.
"Tapi cuma kamu yang mau temenan sama aku."
"Via, Cika, temen-temen sekolah dan kampus yang lain, masa gak kamu anggep?" Galang mengingatkan.
Galang mendecak.
"Beda, dong. Kamu kan sahabat aku. Paling ngerti aku. Kamu lebih dari mereka semua, Galang. Aku ... aku takut..."
Lana meneteskan air mata, kalimatnya menggantung. Kepalanya tertunduk, sedih.
"Takut apa, Na?" Galang yang selama ini tidak pernah tegaan kepada sahabatnya itu, hampir oleng lagi.
Tapi, meskipun begitu, ia harus berusaha tegar dan tetap pada pendirian.
Tidak ada yang bisa menghentikan rencananya kali ini, terutama Lana. Apalagi Galang sudah sangat yakin untuk menikah dengan Mahira, calon istri yang ia kenal dari saudaranya.
"Takut kamu gak peduli lagi sama aku," lanjut Lana memelas, masih tertunduk.
Galang menghela napas. Mengedarkan tatapan gusarnya ke segala arah.
Menetralisir perasaan yang mulai tak karuan lagi. Lana adalah kelemahannya selama ini. Entahlah, tapi setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu adalah keramat bagi Galang.
"Ya ampun. Enggaklah. Aku tetap nganggap kamu penting dan punya tempat tersendiri di hidupku, Lana. Tenang!"
Lana menggeleng kesal.
"Tetep aja. Kamu pasti lebih peduli sama istri kamu nanti. Ya, kan?" Ia membuang muka sembari menghapus tetesan air mata yang sudah beberapa kali jatuh membasahi pipi, tanpa henti.
Galang semakin bingung.
"Ya ... ya mau gimana lagi, Na? Gak mungkin kan aku membatalkan rencana pernikahan ini?" keluhnya, gagap.
Lana menegakan tubuhnya. Melihat gusar ke arah Galang.
"Iyaaa. Batalkan! Kita jomlo aja seumur hidup. Kita sahabatan kayak gini sampai maut memisahkan,"seru Lana, egois.
"Udah, ah. Gak usah ngarang bebas begitu kamu. Ada-ada aja." Galang yang semakin kesal membalikan tubuh untuk melangkah meninggalkan Lana.
Tapi gadis itu dengan sigap berdiri menghadang Galang. Tak mengizinkannya untuk pergi begitu saja.
"Aku serius, Galang."
"Aku juga serius, Lana."
"Jangan nikah!"
"Gak bisa."
"Lang!"
"Apa?"
"Jangan menikah!" Lana menampakan ekspresi memelas.
Galang kembali menghela napas. Kali ini lebih kuat. Ia mengusap-usap wajah dan rambutnya, frustasi. Kalau menuruti kata hati, ia pasti tidak akan tega meninggalkan Lana seperti ini.
Tapi logika harus tetap ia jalankan.
"Aku gak bisa kayak gini terus, Lana. Kita berdua udah dewasa," Galang mencoba memberi pengertian,"sudah cukup main-mainnya. Aku harus berubah. Harus lebih peduli dengan masa depanku. Begitupun dengan kamu. Dan sekarang ... aku sudah mantap untuk menikah."
Galang adalah karyawan dari salah satu perusahaan teknologi. Dan dia sudah menabung lebih dari 5 tahun untuk rencana pernikahannya ini.
Lalu, saat ia merasa sudah siap, tiba-tiba, salah satu saudara dekatnya mengenalkan dia kepada Mahira.
Hingga akhirnya, diam-diam, ia pun merencanakan pernikahannya dengan Mahira tanpa memberitahukan apapun kepada Lana. Ia menyembunyikan semua itu, selama 1 tahunan karena alasan yang masuk akal.
"Kamu udah pernah janji gak bakal ninggali aku. Sepuluh tahun lalu, kamu mengulurkan tanganmu ke aku. Menarikku dari kesendirian dan ketakutan. Lalu janji gak bakal ninggali aku. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini. Terus kenapa sekarang tiba-tiba kamu memutuskan untuk menikah, Lang? Kenapa?"
Tangis Lana semakin menjadi-jadi. Ia bahkan mengungkit kembali kejadian masa lalu mereka. Hari-hari di mana Galang memaksa masuk ke dalam ruang yang sangat Lana tutup rapat dari siapapun.
"Naa, bukan gituuu..."
Galang yang tadi sempat berang, kembali ciut karena ungkitan itu. Tentu ia tidak melupakan semua janjinya dulu.
Galang yang sangat penasaran dengan kehidupan Lana yang sangat tertutup rapat waktu itu, merangsek masuk, menerobos jeruji-jeruji rahasia yang dibangun oleh gadis itu.
Dan berhasil. Galang berhasil menarik Lana keluar meski tidak sepenuhnya, bahkan setelah itu hingga sekarang, Lana sangat bergantung pada Galang yang selalu memberikan hampir semua yang diinginkan sahabatnya itu.
"Setidaknya kamu hargai aku di sini, Lang. Aku di sini. Di depan kamu. Tapi aku malah gak tahu apapun soal rencana pernikahanmu ini. Dan mendadak kamu datang, lalu izin ke aku untuk menikah? Menikah, Lang??!! Tega kamu! Tega banget!"
Tubuh Lana luruh ke lantai. Ia menangis sesenggukan sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Memangnya kalau aku cerita ke kamu, kamu bakal ngizini? Kamu bakal biarin aku untuk mengurus semua rencana pernikahan aku dengan lancar? Enggak, kan, Na? Enggak, kan?"
Lana terus menangis. Tak peduli.
"Aku terpaksa gak cerita apapun soal ini ke kamu karena itu, Na. Aku yakin kamu bakal menjadi penghalang paling depan. Sedangkan ini, bukan perkara main-main bagiku."
Galang ikut jongkok. Memegang bahu Lana, meminta gadis itu melihat ke arahnya.
"Tau darimana kamu aku bakal ngelakuin itu? Haah?! Atas dasar apa kamu menuduhku melakukan itu?" Lana pun mendongak. Matanya penuh dengan air mata yang siap untuk kembali berjatuhan.
"Atas dasar apa yang pernah kamu lakukan selama ini ke aku," jawab Galang, tegas.
"Memangnya apa? Aku ngelakuin apa?" Lana berdiri. Melepaskan diri dari cengkraman Galang.
"Na, tolong jangan pura-pura lupa dengan semua yang pernah kamu lakukan ke aku!"
Galang ikut berdiri, mencengkram kembali kedua bahu wanita itu. Menatap nanar.
"Apa?" Lana belum paham apa yang dimaksud Galang.
"Apa?!"
"Iya, apa? Memangnya aku ngelakuin apa?"
Galang membeliak.
"Astagaa! Kamu lupa? Atau pura-pura lupa, sih, Na?"
"Iya, aku gak mengingat apapun," tantang Lana.
Galang manggut-manggut dengan wajah merah padam. Tanda menerima tantangan Lana.
"Oke. Kalau gitu, aku kasih tahu sekarang!! Coba ingat, berapa kali kamu menggagalkan rencana-rencana besarku hanya karena kamu gak mau aku jauh darimu? Hah?!"
Mata Galang melebar. Sedangkan Lana mulai goyah.
"Tolong, jangan lupakan siapa yang membuang tiket pesawat dan pasporku di hari aku harus berangkat ke Kairo! Siapa yang menggagalkan rencanaku tiap kali aku mau masuk pesantren dan belajar ilmu agama, Na? Belum lagi hal-hal kecil yang kamu anggap remeh, padahal sangat penting bagiku."
Lana menunduk. Tak menjawab apapun.
"Jawab, Naa!"
Namun, ia tetap tak bersuara.
"Lanaa," serunya sembari mencengkram kembali bahu kecil sahabatnya itu.
Tapi, bukannya menanggapi, Lana malah kembali menyuruh Galang untuk menggagalkan rencana pernikahannya itu
"Galaang, jangan menikah! Aku mohon. Please!" serunya lagi.
Mata mereka masih beradu. Penuh kasih, namun sekaligus api egois. Sama-sama memendam perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Hingga setelah beberapa menit saling diam, akhirnya Galang pun bersuara lagi.
"Gak bisa, Na. Gak bisa. Kamu gak boleh egois kayak gini, dong!!"
"Bisa. Kamu bisa!"
"Gak!"
"Bisa, Galang! Ayo kita bareng-bareng terus sampai tua."
"Maksud kamu?"
"Kita sahabatan sampai tua. Jangan menikah. Aku juga. Aku gak bakal menikah, supaya kita bisa tetap bisa bertemu seperti biasa."
"Gila kamu!" ucap Gilang geram. Membalikan badan meninggalkan Lana begitu saja.
"Kamu harus tanggung jawab! Kamu yang udah buat aku ketergantungan gini ke kamu. Galaaang, berhentiii!" teriak Lana histeris.
Galang terpaksa menghentikan langkah saat mendengar Lana berteriak memanggil namanya. Ternyata ia belum sekuat itu, belum bisa tega mengabaikan Lana seperti apa yang sudah ada di dalam pikirannya.
Ia pun memejamkan mata dan menggenggam udara sekuat mungkin demi meredam emosi yang semakin tak terkontrol.
"Galang!" seru Lana lagi, lirih. Berharap lelaki itu tidak meninggalkannya.
Namun, tentu saja tidak berhasil. Karena Galang tetap berjalan semakin jauh darinya. Kali ini Lana benar-benar tidak mampu membuat Galang menuruti kemauan dia seperti biasa.
Meskipun sempat menghentikan langkah,
tapi Galanng akhirnya melanjutkan lagi. Meninggalkan Lana begitu saja, tanpa sepata kata pun.
***
Saat sedang menangis, tiba-tiba Lana mendapatkan sebuah pesan baru dari Galang yang sudah beranjak pergi sepuluh menit lalu dari hadapannya.
Cepat-cepat, ia pun membuka pesan itu dan membacanya.
GALANG: Kalau kamu mau, aku pasti memilihmu, Na. Tapi, sangat mustahil untuk membuatmu berubah pikiran. Dan aku tidak bisa mengikuti ide gilamu itu.
Membaca pesan Galang, tangis Lana pun semakin luruh.
Benar. Kalau saja Lana mau, sudah lama Galang menikahinya. Namun, terlahir di tengah keluarga yang berantakan, membuat Lana memiliki keyakinan kuat, kalau ia tetap berani menikah dan membangun sebuah rumah tangga, maka Lana akan mengalami hal yang sama seperti nasib ibu dan ayahnya selama ini.
____
Cerita yang menarik dan penggambaran karakternya sudah cukup bagus. suka ~
BalasHapusWaduhhhhh....palak kali aku liat si Lana ini. Terbawa emosi juga awak kayak si Galang kannnn. Harusnya sebagai sahabat yang baik, Lana harus ada di garda terdepan mendukung hal-hal baik sahabatnya. Ngeri ah, sampai buang tiket pesawat. Itu kan dibeli pake uang. Kalau aku sih udah kuputusin gak jadi sahabat lagi. Hahaha...bagus cerpennyaa kak. Lanjutkannn...
BalasHapus