![]() | |
Sumber gambar: pexels.com/skitterphoto |
[Cerpen]
Ri, hari ini ruangan sunyi. Tapi nyamuk tak mengizinkanku menikmati sunyi itu. Seakan mereka menarik-narikku untuk segera bangkit. "Ayo, bangun"
Ri, mataku masih ingin terpejam. Namun seakan nyamuk sengaja deh mengepakkan sayapnya dan menjerit-jerit lebih keras di dekat telingaku.
Nyamuk tetap saja bilang, "pokoknya harus bangun!"
Ri, hari ini masih sangat gelap dan sunyi. Kentongan satpam baru saja terdengar dua kali tadi. Tapi seakan-akan nyamuk arogan itu membuat hari sudah beranjak dari gelap dan aku harus membuka mata.
Ri, aku tak tahu harus apa setelah ini. Bahkan aku masih bingung mau berpikir apa sembari kupandangi empat sudut langit-langit kamarku bergantian dengan tetap membiarkan selimut menutupi badan hingga leherku.
Nyamuk tak lagi bersuara, Ri. Aneh. Tadi sepertinya dia yang paling berisik sepanjang waktu. Hanya satu atau dua ekor saja. Tapi seperti punya jurus seribu bayang hanya untuk menyerangku. Ya, hanya...
Ah sudahlah, Ri. Aku tak ingin membicarakan nyamuk itu lagi. Ia hanya bisa mengganggu ketenanganku lalu pergi. Tanpa memikirkan akibat saat ku ditinggal sendiri.
Ingin sekali aku mencari tempatnya menghinggap, bersembunyi. Lalu kulibas dengan rakit listrik. Walau itu hanya khayalku. Karena boro-boro raket listrik, obat nyamuk saja belum juga kubeli sampai sekarang, Ri.
Kalau begitu, aku ingin berbicara denganmu saja deh. Tentang apapun itu. Mungkin warna-warni kehidupan barangkali? Emm, tentang cinta atau tentang benci? Tentang rembulan atau tentang matahari? Boleh tidak, Ri?
Atau aku hanya boleh bercerita tentang perasaan? Mungkin tentang rasa yang bergelora. Tentang rasa yang terjatuh. Tentang rasa yang bersembunyi di tempat paling gelap. Atau tentang rasa yang belum selesai masih sakit teriris sembilu kekasih?
Atau lebih berat lagi saja, misalnya tentang orang-orang yang membuka lebar-lebar matanya untuk mengamati orang lain tapi menutup telinganya untuk dirinya sendiri?
Atau Ri, pada mereka yang bisa sanggup bahagia di atas penderitaan orang lain? Padahal sadar derita itu ada karena mereka.
Mungkin juga tentang mereka yang mampu memandang sejauh itu tentang kesalahan dunia, tapi dirinya sendiri dipandang hanya dengan sebelah matanya? Lalu enyah dan mati hati menilai diri.
Terlalu berat ya Ri hanya untuk obrolan di pagi temaram? Atau aku terlalu bingung dengan topik yang ingin kutawarkan?
Ruangan masih sunyi. Aroma masih pengap dengan uap keringat dan bekas napas-napas sengau saat terlelap tadi. Jendela belum dibuka. Pintu juga masih tertutup rapat. Warna alam masih temaram. Lampu jalan masih memancar. Satpam belum lagi keliling memukul tiang listrik. Sebentar lagi, mungkin tiga kali.
Ri, bangun dong. Aku ingin berbicara. Mengapa kau masih diam saja? Kamu harusnya menemaniku. Menyaksikan kesunyian ini lebih dekat di sampingku. Lalu merasakan apa yang sedang kurasakan. Masih banyak Ri, sangat banyak hal yang ingin kuceritakan padamu.
Ri!
Ri!
Ri!
Nyamuk arogan itu kembali hadir. Ia menarik-narikku lagi. "Hey, aku sudah bangun." teriakku
Ia tetap mengelilingiku. Mengibas-ngibaskan sayap mungilnya di telinga. Aku menutup diri dengan selimut. Malah jadi pengap. Kipas angin terlalu tajam untuk perutku. Tidak boleh sering-sering diputar.
Serba salah.
Aku pun akhirnya beranjak ke kamar mandi. Membersihkan diri. Berwudhu. Rasanya nikmat. Segar. Air pagi gemericik mengalir di sela-sela kegelisahanku. Benar-benar menenangkan.
Aku beranjak lagi. Kali ini dari kamar mandi ke kamar tidur. Mencari cara lain mengisi kekosonganku. Kuambil sajadah dan mukenah. Mungkin saja Allah lebih sudi mendengarku daripada Ri. Ri tidur. Allah tidak pernah.
Sudah lama juga tidak mengetuk pintuNya.
Pasti Ia sangat senang sekali melihat kedatanganku. Ah, payah. Hanya saat butuh dan mengisi kekosongan saja aku sudi datang.
Tak terduga, kutemukan hakikat ketenangan. Nyamuk menghilang entah kemana. Hati adem karena basah dengan tetesan dosa yang tersesali. Aku lebih banyak merenung. Dalam senyap sunyi gelap.
Ri, mengapa waktu ini begitu nikmat? Ruang pengap berubah sejuk. Angin-angin mulai masuk dari cela pintu yang terbuka. Nyamuk tak sudi lagi menghinggap.
Aku segugukan. Entah, rasanya kok jadi sedih? Aku kenapa, Ri? Menangis dan terus menangis sendiri. Tanpa mengerti bagaimana cara berhenti.